Bulan, arti nama mu yang kemudian melekat erat tak hanya pada benak ku, namun relung jiwaku, hatiku, juga seluruh hidupku. Bulan, kau benar-benar menjadi rembulan pada malamku. Kau mengajarkanku untuk mencintai malam, agar aku tak takut kepadanya pada tiap lelapku. Hanya ada satu bulan di langit, dan bulanku pun hanya satu, kamu.
Aku memandang langit malam ini, kelam, tak berbintang dan bulan pun enggan menampakkan dirinya. kubuka buku diariku, kutulis dengan spidol warna warni. Sebenarnya tidak sewarna warni spidol yang kuguratkan pada buku diariku. Kemudian mataku berkaca-kaca dan terasa panas, ada yang tak mampu kubendung, tangis. Akupun tak mengerti kenapa, sudah hampir satu bulan sejak kamu menyatakan cintamu, memintaku kembali mengisi hariku tentangmu. tetapi sudah seminggu ini aku tak menerima kabar darimu. Beberapa telepon dan pesan singkat tak kunjung kau tanggapi. Kamu kemana? Aku bertanya dalam hati dengan lelehan air mata datang membanjir. Hingga aku terlelap karena kelelahan menangis.
**************************
"ver, menurutmu dia kemana ?" tanyaku pada temanku yang sedang asik menonton TV di ruang tamu. Aku datang mengunjunginya karena aku penat jika aku harus terus mengurung diri di kamar memikirkan yang tidak-tidak.
"ya gak tau, mungkin sibuk" jawab vera sambil sibuk memencet tombol remote memindah channel TV. Akupun menghela napas panjang, melayangkan pikiran yang semakin melantur. kuingat kembali kata-katanya yang suka meninggalkan mantan pacarnya tanpa sebab. Tanpa kusadari aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan buku diari yang kubawa ke rumah vera sudah terisi lagi oleh keluh kesahku dengan spidol warna warniku. ah, andai cintaku terus berwarna-warni seperti spidol ini. Aku mendengus dalam hati.
"ver, apa mungkin dia ninggalin aku?" prasangkaku yang terburuk meskipun aku sendiri enggan membayangkannya.
"wah, mungkin juga tuh, tapi masa setega itu sih?" vera juga tak yakin atas ucapannya.
Aku yang masih berseragam putih abu-abu ini tak mampu berpikir jauh, aku masih terlalu dangkal dalam berpikir, tak tahu harus menduga apalagi tentang kamu. Kamu membutakanku seperti malam tanpa rembulan. Aku takut kehilangan kamu. Vera tak mengatakan apa-apa, ia hanya terdiam berusaha sibuk sendiri. Ia pun tak tahu harus membantu apa selain ada di sisiku saat ini.
***************************
CHANDRA. Ku tulis besar-besar namamu pada buku diariku, bahwa kamu yang memperkenalkanku pada rembulan, kamu yang mengirimiku bait puisi, kamu yang mengajarkanku untuk menikmati lagu cinta. Kamu yang mengajarkanku cara mencintai seseorang begitu dalamnya. Rembulan dalam pelitaku. Aku kalut dalam sejuta prasangkaku. Aku membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu untuk terangi malamku, aku membutuhkanmu untuk mengisi warna pada hidupku seperti spidol-spidol itu. Tapi kamu tak ada. Kamu kemana bulanku. Entah sejak kapan akupun tak menyadarinya, bahwa kamu benar-benar menjadi sosok rembulan pada langit gelapku, seperti namamu yang berartikan bulan. Kamu yang menjadi bulan dalam hatiku.
*************************
Entah sudah hari keberapa dalam hariku yang tanpa rembulan, gundah sudah membuat hariku kelabu. Selalu kelabu tanpamu. kadang aku mengutuk diriku sendiri, kenapa aku tak mampu bersikap tenang dan larut pada gemuruh badai dalam hatiku sendiri. Apakah aku yang masih duduk di bangku SMA ini tak pantas merasakan cinta? tapi bukankah cinta hak siapa saja? Aku ingin cepat dewasa, aku tak ingin larut dalam pikiran dangkalku, aku masih anak-anak dan aku terus merapalkan diriku dalam kata-kata kutukan ini, aku masih kecil. Tangisku membuncah, betapa aku merindukan sosok bulanku, bulan purnamaku, aku menginginkannya saat ini. Lagi, aku terlelap bersama tangis.
*************************
Tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku terkejut ketika melihat layarnya, kamu menelepon! Hatiku girangnya bukan main, seribu pertanyaan ingin kuajukan padamu, seribu ketakutan pula datang merajai alam pikiranku. Dengan ragu-ragu kuangkat teleponmu.
"Nina, aku kangen..." suaramu lembut dari seberang sana. Anak sungai kemudian meleleh dari pelupuk mataku. Ini rembulanku.
"ka.. kamu kemana aja? aku nyariin" suaraku terbata menahan isak tangis. Aku memang masih belum dewasa, aku belum bisa mengatur emosiku.
"kamu janji mau ajak aku bertemu, kamu janji ajak aku jalan-jalan..." kemudian aku terisak lagi.
"maaf, kemarin aku banyak urusan yang bikin aku gak bisa hubungin kamu" ujarmu lembut. Aku yang sudah berprasangka ini terus saja terisak. Aku tak tahu apakah ini kesal atau senang.
"aku kemarin lihat kamu di depan rumah vera" kamu melanjutkan ceritamu.
"kenapa gak berhenti, kenapa gak bicara padaku?" aku terus terisak mengeluarkan segala prasangkaku padamu, menghamburkan rinduku padamu.
"aku sama temanku, gak enak.. makanya sekarang aku hubungi kamu"
"aku pikir kamu pergi gitu aja...." aku tak sanggup meneruskan kata-kataku dan terus mengalirkan mata air pada sungai yang sudah terbentang di pipiku.
"jangan nangis, sekarang aku ada di depan rumahmu"
aku kemudian terhentak, kubuka jendelaku dan kamu telah tersenyum manis melambai padaku. Kamu ada di hadapanku saat ini.
*********************************
Aku menghambur keluar rumah menyambutmu, segera kuseka anak sungai yang sedari tadi banjir tidak karuan di wajahku. Aku terduduk lemas dan kamu tetap tersenyum kemudian datang mendekat. Kau usap kepalaku seraya meminta maaf.
"aku gak ninggalin kamu, buktinya aku ada disini untuk kamu" ucapmu lembut. Aku hanya tertunduk menghabiskan sisa-sisa isakan yang menyesakkan dadaku, menghabiskan kesah yang menghantuiku selama ini. Kamu mendekapku erat, mengusap kepalaku, seraya berkata kamu merindukanku. Mungkin aku masih kanak-kanak yang masih terlalu dangkal dalam berpikir. Tapi aku merasa bahagia, memiliki kamu dalam gulitaku. Bulan..
***************************
biarkan malam merapalkan sajak gulitanya, biarkan malam bernyanyi kepada bintang-bintang, biarkan malam bangga atas dunia jika ia memiliki satu rembulan yang setia. Tak mengapa, akupun memiliki kamu rembulanku..