Kisahku dengan
seni pentas panggung seolah memang sudah takdir yang ditulis di Lauhul Mahfudz.. Gusti Allah sudah
merencanakan setiap hidup umat-Nya dengan sangat sempurna hanya saja kita yang
manusia biasa dengan pemikiran yang tak sedalam Sang Pencipta akan merasa bahwa
apa yang terjadi di sekitar kita sebagai sebuah kebetulan. Aku pun begitu, tapi
aku berusaha menemukan korelasi sebab-akibat yang bisa kutelusuri semampuku.
Hasilnya? Luar biasa bahwa Tuhan telah mengatur jalan hidupku dengan sangat
asyik! Subhanallah. Aku sendiri tak
pernah menyangka, bahwa ketertarikanku terhadap seni pentas panggung seperti
teater misalnya, telah membawaku pada sesuatu yang aku sendiri tak pernah
membayangkan sebelumnya.
Kakak keduaku
sudah lebih dulu terjun di dunia seni peran sejak ia SMP, saat itu aku masih
SD. Aku mendengar bahwa kakakku sangat pandai berimprovisasi saat berpentas
diatas panggung dari orangtuaku, aku yang saat itu belum mengerti hanya tertawa
mendengar ceritanya. Ia meneruskan kesukaannya itu hingga bangku SMA. Aku masih
belum mengerti dimana asyiknya seni peran. Kemudian saat aku kuliah segalanya
bermula. Bahwa seni peran itu sangat luas cabangnya, kebetulan sedari kecil aku
sangat suka berpuisi, dari kesukaanku membaca dan menulis puisi lah aku
tergabung dalam kelompok teater di fakultas tempat aku menempuh jenjang strata-1 ku. Menarik! Ternyata seni
pentas panggung itu menarik, hal yang begitu baru untukku, dan aku telah
mengikuti jejak kakakku.
Orangtuaku
kurang mendukung kesukaan baruku, selain fisikku yang lemah, latihan hingga
larut malam membuat mereka khawatir akan nilai akademisku. Aku pun berjanji
pada mereka, jika kuliahku terganggu aku akan berhenti, selagi nilaiku masih
stabil aku tak akan pernah berhenti. Oke, pada akhirnya aku benar-benar harus
berhenti karena selain nilaiku ada hal lain yang membuatku mengundurkan diri di
penghujung semester lima. Tapi aku masih mencintai seni peran, seni pentas
panggung dan segalanya. Semester enam aku mendapat mata kuliah Literary and Oral Tradition, disitulah
segalanya menjadi semakin dalam buatku. Aku yakin itu juga bukan kebetulan
hingga pada akhirnya mata kuliah ini mengenalkanku pada sebuah Seni Ketoprak. Bermula pada tugas ujian tengah
semester, penelusuranku bermuara pada Bapak
Mujianto, menantu pendiri Grup Ketoprak
Siswo Budoyo yang sangat
terkenal dari Tulungagung yang menjadi penerus kesenian ini. Salah satu
kisahnya mengenai Babad Tulungagung,
Legenda asal muasal Tulungagung menjadi kecintaanku yang baru. Ada banyak hal
yang dimanifestasikan dalam kesenian ini berupa kearifan lokal yang mengusung
berbagai nilai luhur. Coba tanya orangtua kalian yang besar di Pulau Jawa pasti
mengenal apa itu Grup Siswo Budoyo. Namun
sayang, kesenian ini pudar oleh era modern. Hal itulah yang menjadi motivasiku
mati-matian untuk memperjuangkan kesenian dan Legenda Tulungagung ini untuk
kelak menjadi bahan skripsiku. Tak dinyana, dosenku sangat mendukung
keinginanku, tanpa banyak bertanya apa alasanku, form pengajuan judul ku
langsung ditandatangani. “Dengan resiko waktu, biaya dan tenaga, nak” ucap dosenku saat aku hendak
memulai outline ku. Apapun resikonya
pak, saya akan bertahan ujarku yakin. Dan izin pun langsung kukantongi.
Dukungan itu
ternyata tak datang dari kedua orangtuaku, sedih rasanya jika mengetahui mereka
berasal dari tempat dimana kesenian itu berdiri dan mereka dulunya adalah
penonton setia kesenian ini malah mencibirku bukannya mendukung. Khayal
katanya, skripsiku tak ilmiah, mana mungkin bisa sebuah mitos menjadi karya
ilmiah. Aku tak lantas jatuh terpuruk, aku tetap bertahan menyelesaikannya hingga
saat ini aku pun masih berjuang. Jika memang ini semua hanya khayalan, aku mana
mungkin didukung penuh oleh dosen-dosenku. Kemudian aku teringat kata-kata
bapak tentang aku yang ditentang saat terjun dalam teater. “kamu mau jadi
pemain ludruk atau ketoprak apa? Kok segala ikut teater. Ndak
berguna!” hardik bapak saat itu. Terucaplah janji yang sebelumnya pernah
kusebutkan. Dan belakangan aku teringat lagi kata-kata itu. Apa karena
disumpahi seperti itu makanya sekarang aku benar-benar mengambil ketoprak sebagai bahan skripsi. Bapak
tak pernah sungguh-sungguh mendukungku, dukungannya selalu beliau hapus lagi
dengan pesimisme-pesimisme yang berusaha beliau tularkan padaku. Maklum, beliau
inginnya aku kuliah di kedokteran tapi aku menolak. Kemudian aku merasa berdosa
saat aku bilang aku mencintai ketoprak
karena dikutuk bapak. Ya, karena Tuhan telah menggariskan aku berkecimpung di
dalamnya, bapak hanya perantara Tuhan untuk membuatku teguh atas pendirianku,
ujian untuk menguji seberapa yakin aku
dalam jalan yang kupilih. Alhamdulillah hingga saat ini aku masih kuat dan akan
selalu kuat.
Jika tak
bertemu dengan teater, tak bertemu dengan mata kuliah Literary and Oral Tradition aku tak akan menemukan betapa sejarah
itu begitu menyenangkan. Siapa yang menyangka kini aku begitu mengerti tentang
kisah Ken Arok dan masa kebesaran Kerajaan Majapahit, padahal dulu aku benci
sekali sampai amit-amit jabang bayi dengan sejarah. Baru saja saat mengetik
semua ini aku tersadar lagi atas satu hal, bahwa Tuhan adalah Maha Penggerak
Hati. Tuhan selalu mempertemukan aku dengan hal-hal yang sangat tak kusukai
hingga aku terjun ke dalamnya dan menikmatinya pada akhirnya, Maha Besar Allah,
bukan? Sama saat aku benci setengah mati dengan bahasa inggris, hingga kini aku
kuliah di jurusan Sastra Inggris, juga saat aku membenci matematika kemudian
aku menjadi guru privat matematika semasa kuliah, dan sekarang pun begitu. Ada
hal yang ternyata berkaitan satu sama lain seperti benang merah saat menyelami
sejarah, dan itu menarik.
Intinya, kita
harus menikmati segala yang terjadi pada kita, yakinlah kalau angin badai yang
menerpa semata diciptakan Tuhan untuk membuat kita kuat. Ingatlah pada
peribahasa ‘semakin tinggi pohon maka semakin tinggi angina yang meniup’ jadi
janganlah patah semangat jika justru disekitar kita banyak hal yang sepertinya
ingin menjatuhkan kita. Teruslah bertahan, karena itulah yang Tuhan ingin ciptakan
di diri kita, menjadi kuat. Aku sangat bersyukur, jika aku tak berkecimpung
dalam seni peran dan pentas panggung, jika aku tak dipertemukan dengan pegiat
budaya yang tersohor pada masa keemasannya, jika aku tak mengenal sejarah
budayaku sendiri, maka kapan aku akan mulai untuk mencintai negeriku sendiri?
Motivasi yang ingin kusampaikan adalah bersyukurlah atas apa yang kita miliki,
cobalah perluas wawasan terhadap apa yang disekitar kita, jadilah generasi
penerus bangsa yang mencintai Negara ini, minimal tempat kamu pernah
dibesarkan. Dan ingat juga peribahasa ‘ilmu padi semakin berisi semakin
merunduk’. Jadilah pribadi yang kuat, agar kelak menjadi penguat kawan yang
sedang lemah, jadilah lilin dalam kegelapan, embun dalam kesejukan, oasis pada
gurun. Jika kita mau, kita pasti mampu.
Salam
Hangat,
Malang,
Sore
yang juga hangat, mentari masih bersemangat.
Motivasi
kepada para kawan.
No comments:
Post a Comment