Batas,
Selalu ada batas yang berbaur,
Awalnya aku tak peduli, kupikir
kita akan jauh lebih dewasa..
Ini bukan kisah patah hati,
Sebuah semangat dari cinta yang
gagal.
“Aini,
kamu mau kan sama aku lagi?”
“aku
lelah ketika di tengah jalan kita menemui masalah yang sama lagi”
“aku
janji akan bahagiakan kamu Aini”
“mau
sampe kapan? Aku jengah sama semua”
“ini
yang terakhir..”
Percakapanku dengan Pandu di
sebuah kafe bilangan Kota Malang berakhir dengan sebuah kesempatan untuknya.
Sebetulnya aku masih harus mempertimbangkannya lagi, tapi Pandu selalu bisa
meyakinkan keraguanku. Entah karena aku yang terlalu lemah saat menatap
matanya, entah yang genggaman tangannya terlalu lembut. Aku selalu lemah jika
di hadapannya. Pandu sampai jauh-jauh menyebrangi lautan demi aku, hingga aku
pun luluh jua.
Hubungan
ini memang kujalani, tetapi setelah ia kembali ke Kota nya sejak dari sini aku
tak pernah memahami arti rasa yang terus bergelayut sangat berat di hatiku.
Rasanya aneh, aku tak bisa membaca masa depanku kelak dengannya. Oke, aku bukan
peramal tetapi untuk beberapa hal aku bisa mendapatkan gambaran lebih cepat
ketimbang orang lain. Mereka bilang ini adalah ‘hadiah’, ya hadiah kecil dari
Tuhan untukku. Aku tak paham, kenapa ragu selalu membayangi kepalaku. Dia tak
ketahuan selingkuh jika memang ada, tak juga melakukan tindak tanduk aneh
selama disana, atau ini hanya rasa yang muncul karena LDR? Tidak, aku tak pernah menyalahkan ke-LDR-an ku ini, karena dulu aku sendiri yang memutuskan untuk pergi
dari kota kelahiranku dan memulai pengalaman baru. Ah, kepalaku menjadi penuh
lagi akhir-akhir ini.
“sayang,
kamu disana nakal nggak?” suara Pandu dari seberang telepon
“nggak
kok sayang..” Ah sialan! Aku muak
dengan pertanyaan ini, mau nakal bagaimana sih kalau kehidupan pribadiku saja
sekarang sudah direnggut oleh jam kerja ku. Percakapan seperti ini bagiku sudah
sangat bertele-tele, pertanyaan yang diulangnya nyaris tiap hari.
“iya,
percaya kok Aini sayang.. kamu sudah makan?”
“iya
sudah, kamu semalam pulang dari rumah seniormu jam berapa?” tanyaku menyelidik
“jam
dua belas sih”
“…”
aku terdiam
“sayang…”
“mungkin
benar kamu gak pernah bohong sama aku, tapi gak bilang pun bukan tidakan yang
aku anggap benar. Kamu minum kan sama mereka?” selidikku dengan yakin memang
dia melakukannya.
“…..”
kali ini dia yang diam seribu bahasa
“kenapa
diam, aku bertanya”
“iya
yang”
Baik, ia hancurkan hatiku. Singkatnya
yang menjadi keraguanku adalah kenyataannya dia melakukan hal yang aku tak bisa
tolerir.
“kamu
mau aku bilang sama bapak ibuku kamu suka minum?” tegasku
“tolong
ya, bukan berarti aku minum aku mabuk”
“jadi
kamu membenarkan perbuatanmu? Kau ingat, besok kamu lah imamku, kamu yang bombing
anak-anak kita nanti.. tapi kalau begini?” kemudian aku mulai menahan emosi
“aku
tersinggung kalau kamu bilang besok aku gak bisa didik anak-anak, aku bukannya
mabuk-mabukkan”
“kamu
besok yang bawa aku ke surga sayang, bagaimana caranya jika kamu tak berhenti
melakukannya” mataku kemudian berkaca-kaca tanpa ia mengetahuinya
“kamu
gatau rasanya kerja di lingkungan militer, senioritas tinggi, kalau aku gak
coba berbaur nanti terbawa ke pekerjaan”
“apa
kinerja mu dinilai dari seberapa sering kamu minum dengan mereka?”
“….”
Dia terdiam lagi
“jawab,
apa iya?”
“tidak”
“lantas
apa yang membuatmu tak bisa berhenti? Atasanmu perempuan, aku yakin ia tak
melakukannya. Apa ia minum?”
“tidak”
“jadi
sebelah mana yang kau benarkan dari perbuatanmu” aku menahan emosi sambil
istigfar dalam hati. Calon imamku menjerumuskan dirinya sendiri, betapa hancur
hatiku saat ini mendengar ia berusaha mengelak atas apa yang ia lakukan itu
benar menurutnya.
Kelak
ia imamku, kelak ia yang membawaku mencium aroma surga. Tapi coba bayangkan
jika ia terus melakukan kebiasaannya, bayangkan sholatnya gugur selama 40
malam, dan tanpa disadarinya ia mengimami aku sembahyang disaat waktu shalatnya
gugur. Apa shalatku sah? Wallahualam
bissawab, naudzubillahi mindzalik.
Aku
memikirkan lamat-lamat keputusanku, orang tuaku sebetulnya sudah setuju dan
sayang jika aku tak mempertahankan hubungan kami yang sudah bertahun-tahun
penuh polemik kehidupan. Aku tahu bapak akan marah jika aku memilih mundur, tapi
aku pun tak ingin membongkar kejadian yang sesungguhnya pada bapak, biarkan ia
belajar sendiri untuk kehidupannya. Demi Allah aku membutuhkan imam yang akan
membimbing ku pada Ridha-Nya. Bukan hanya yang mampu mencukupi materiku.
Dengan hati yang
hancur dan berusaha melapangkan dada. Aku memilih untuk melepaskannya..
Nah ini nih keren. Padat, jelas, mudah dimengerti. Jadi konfliknya kerasa banget gitu. Jadi kebayang.
ReplyDeleteBeda sama tulisan aku. Tulisan aku masih berantakan banget. Tapi, suatu saat aku bakal bisa rapih kayak gini.
aaaakkk~ Aku juga masih belajaran kok :))
Deletemenulis itu kayak mata pisau, makin diasah makin tajam.. semangat yaa pasti bisa, aku sendiri masih banyak kurang di sana-sini, kita sama-sama belajar yaa :D