CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

sayap yang ingin terbang

sayap yang ingin terbang
kepada senja aku titipkan doa yg kurapalkan pada malam agar kelak aku bisa pulang

Thursday, May 22, 2014

Kisah (Patah) Hati

Batas,
Selalu ada batas yang berbaur,
Awalnya aku tak peduli, kupikir kita akan jauh lebih dewasa..
Ini bukan kisah patah hati,
Sebuah semangat dari cinta yang gagal.

                “Aini, kamu mau kan sama aku lagi?”
                “aku lelah ketika di tengah jalan kita menemui masalah yang sama lagi”
                “aku janji akan bahagiakan kamu Aini”
                “mau sampe kapan? Aku jengah sama semua”
                “ini yang terakhir..”
Percakapanku dengan Pandu di sebuah kafe bilangan Kota Malang berakhir dengan sebuah kesempatan untuknya. Sebetulnya aku masih harus mempertimbangkannya lagi, tapi Pandu selalu bisa meyakinkan keraguanku. Entah karena aku yang terlalu lemah saat menatap matanya, entah yang genggaman tangannya terlalu lembut. Aku selalu lemah jika di hadapannya. Pandu sampai jauh-jauh menyebrangi lautan demi aku, hingga aku pun luluh jua.
                Hubungan ini memang kujalani, tetapi setelah ia kembali ke Kota nya sejak dari sini aku tak pernah memahami arti rasa yang terus bergelayut sangat berat di hatiku. Rasanya aneh, aku tak bisa membaca masa depanku kelak dengannya. Oke, aku bukan peramal tetapi untuk beberapa hal aku bisa mendapatkan gambaran lebih cepat ketimbang orang lain. Mereka bilang ini adalah ‘hadiah’, ya hadiah kecil dari Tuhan untukku. Aku tak paham, kenapa ragu selalu membayangi kepalaku. Dia tak ketahuan selingkuh jika memang ada, tak juga melakukan tindak tanduk aneh selama disana, atau ini hanya rasa yang muncul karena LDR? Tidak, aku tak pernah menyalahkan ke-LDR-an ku ini, karena dulu aku sendiri yang memutuskan untuk pergi dari kota kelahiranku dan memulai pengalaman baru. Ah, kepalaku menjadi penuh lagi akhir-akhir ini.
                “sayang, kamu disana nakal nggak?” suara Pandu dari seberang telepon
                “nggak kok sayang..” Ah sialan! Aku muak dengan pertanyaan ini, mau nakal bagaimana sih kalau kehidupan pribadiku saja sekarang sudah direnggut oleh jam kerja ku. Percakapan seperti ini bagiku sudah sangat bertele-tele, pertanyaan yang diulangnya nyaris tiap hari.
                “iya, percaya kok Aini sayang.. kamu sudah makan?”
                “iya sudah, kamu semalam pulang dari rumah seniormu jam berapa?” tanyaku menyelidik
                “jam dua belas sih”
                “…” aku terdiam
                “sayang…”
                “mungkin benar kamu gak pernah bohong sama aku, tapi gak bilang pun bukan tidakan yang aku anggap benar. Kamu minum kan sama mereka?” selidikku dengan yakin memang dia melakukannya.
                “…..” kali ini dia yang diam seribu bahasa
                “kenapa diam, aku bertanya”
                “iya yang”
Baik, ia hancurkan hatiku. Singkatnya yang menjadi keraguanku adalah kenyataannya dia melakukan hal yang aku tak bisa tolerir.
                “kamu mau aku bilang sama bapak ibuku kamu suka minum?” tegasku
                “tolong ya, bukan berarti aku minum aku mabuk”
                “jadi kamu membenarkan perbuatanmu? Kau ingat, besok kamu lah imamku, kamu yang bombing anak-anak kita nanti.. tapi kalau begini?” kemudian aku mulai menahan emosi
                “aku tersinggung kalau kamu bilang besok aku gak bisa didik anak-anak, aku bukannya mabuk-mabukkan”
                “kamu besok yang bawa aku ke surga sayang, bagaimana caranya jika kamu tak berhenti melakukannya” mataku kemudian berkaca-kaca tanpa ia mengetahuinya
                “kamu gatau rasanya kerja di lingkungan militer, senioritas tinggi, kalau aku gak coba berbaur nanti terbawa ke pekerjaan”
                “apa kinerja mu dinilai dari seberapa sering kamu minum dengan mereka?”
                “….” Dia terdiam lagi
                “jawab, apa iya?”
                “tidak”
                “lantas apa yang membuatmu tak bisa berhenti? Atasanmu perempuan, aku yakin ia tak melakukannya. Apa ia minum?”
                “tidak”
                “jadi sebelah mana yang kau benarkan dari perbuatanmu” aku menahan emosi sambil istigfar dalam hati. Calon imamku menjerumuskan dirinya sendiri, betapa hancur hatiku saat ini mendengar ia berusaha mengelak atas apa yang ia lakukan itu benar menurutnya.
                Kelak ia imamku, kelak ia yang membawaku mencium aroma surga. Tapi coba bayangkan jika ia terus melakukan kebiasaannya, bayangkan sholatnya gugur selama 40 malam, dan tanpa disadarinya ia mengimami aku sembahyang disaat waktu shalatnya gugur. Apa shalatku sah? Wallahualam bissawab, naudzubillahi mindzalik.
                Aku memikirkan lamat-lamat keputusanku, orang tuaku sebetulnya sudah setuju dan sayang jika aku tak mempertahankan hubungan kami yang sudah bertahun-tahun penuh polemik kehidupan. Aku tahu bapak akan marah jika aku memilih mundur, tapi aku pun tak ingin membongkar kejadian yang sesungguhnya pada bapak, biarkan ia belajar sendiri untuk kehidupannya. Demi Allah aku membutuhkan imam yang akan membimbing ku pada Ridha-Nya. Bukan hanya yang mampu mencukupi materiku.

Dengan hati yang hancur dan berusaha melapangkan dada. Aku memilih untuk melepaskannya..

2 comments:

  1. Nah ini nih keren. Padat, jelas, mudah dimengerti. Jadi konfliknya kerasa banget gitu. Jadi kebayang.
    Beda sama tulisan aku. Tulisan aku masih berantakan banget. Tapi, suatu saat aku bakal bisa rapih kayak gini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. aaaakkk~ Aku juga masih belajaran kok :))
      menulis itu kayak mata pisau, makin diasah makin tajam.. semangat yaa pasti bisa, aku sendiri masih banyak kurang di sana-sini, kita sama-sama belajar yaa :D

      Delete